Home » » Mudik Lebaran Via Jalur Selatan Blitar-Tulungagung-Trenggalek-Ponorogo-Wonogiri-Jakarta

Mudik Lebaran Via Jalur Selatan Blitar-Tulungagung-Trenggalek-Ponorogo-Wonogiri-Jakarta

By Dion Mloto on 23.7.16

Kali ini Dion Mloto akan sharing perjalanan dalam rangka mudik lebaran via jalur selatan *ciee.. hehe bahasanya*. Maklum lah ga biasa pake bahasa resmi, sukanya gado-gado + ketoprak. Sebenarnya yang saya tulis ini bukan arus mudik lebaran tetapi arus balik lebaran via jalur selatan dari kampung halaman di Blitar ke Jakarta.

Mungkin lebih tepat bukan pengalaman kali ya, tapi kronologi perjalanan wkwkwkwkkwk...Awalnya, jauh - jauh hari sebelum lebaran, tepatnya 3 bulan sebelum lebaran saya sudah berburu tiket mudik. Karena keterbatasan waktu, saya memilih berburu melalui jalur online. Di bantu beberapa teman selama 4 malam berturut-turut saya begadang dengan harapan mendapatkan tiket kereta api untuk mudik lebaran tahun 2016. Ternyata dari 4 malam tersebut saya dan teman-teman tidak mendapatkan tiket sama sekali. Bukan untuk rame-rame tetapi teman-teman saya tersebut mencarikan 1 tiket mudik hanya untuk saya. Hasilnya tetap nol, akhirnya saya nyerah dan memutuskan untuk membatalkan perburuan tiket mudik lebaran kepada teman-teman. Selengkapnya silakan tengok Kenangan Mudik Lebaran Menggunakan Bus

Saya lanjutkan untuk bab mudik lebaran via jalur selatan Blitar Tulungagung Trenggalek Ponorogo Wonogori hingga jakarta. Singkatnya saya berangkat dari rumah di Biltar pukul 07:00. Di antar istri dan 2 buah hati, saya menuju kota kecamatan Srengat menggunakan motor. Hanya 15 menit saya sudah sampai di kota kecamatan Srengat di mana saya harus menggunakan angkot trayek Blitar - Tulungagung. Sekitar 20 menit kemudian sebuah angkot melintas dan berhenti di depan saya dan anak istri. Saya segera pamit dan menaiki angkot untuk menuju kota Tulungagung sebagai tempat estafet pertama. Cukup sedih karena harus meninggalkan istri dan anak-anak, tetapi saya harus meninggalkan mereka demi tuntukan pekerjaan.

Perjalanan cukup lancar hingga sampai desa Srikaton arah Ngatru terjadi pengalihan arus. Lalu lintas dari arah Blitar di belokkan petugas masuk jalan desa yang hanya cukup di lalui 1 mobil. Saya anggap supir angkot tersebut cukup cerdik sebab dia mencari jalan alternatif terdekat untuk kembali ke jalur utama. Karena jika mengikuti arahan petugas, untuk menuju kota Tulungagung, angkot harus memutar jauh. Suasana pagi menjelang siang cukup mendukung, cuaca mulai beranjak panas. Pukul 09:45 saya sampai Kota Tulungagung dan turun tepat di depan terminal Tulungagung setelah sebelumnya saya membayar ongkos sebesar Rp.10.000; kepada sang kenek. Sayang saya tidak sempat mengabadikan moment di terminal Tulungagung sebab saya harus mengejar waktu untuk sampai di kota Wonogiri sebelum jam 3 sore. 

Setelah turun dari angkot, saya menyempatkan diri mampir di toilet SPBU samping pintu keluar terminal untuk sekedar mencuci muka agar saya lebih dapat menguasai diri dan keadaan. Terus terang rasa sedih meninggalkan keluarga cukup menyita perhatian dan konsentrasi. Kondisi toilet sangat bersih dan saya memberi nilai 9 untuk kondisi toilet SPBU Terminal Gayatri Tulungagung.

Kemudian dengan tas carrier Consina Parham 40 liter terisi penuh perbekalan melekat di punggung, celana jeans robek sana sini + sandal gunung Eiger saya memasuki terminal Gayatri Tulungagung untuk mencari Bus jurusan Kota Ponorogo. Saya memilih bus yang langsung Ponorogo dengan harapan tidak perlu naik turun repot mencari bus estafet di kota Trenggalek. Tak sampai 5 menit saya sampai di jalur bus yang sedang berderet menunggu penumpang. Dari jauh mata saya nanar melihat tulisan besar menempel di balok atap tiap jalur. Mencari tulisan Ponorogo. Akhirnya saya dapati tulisan Trenggalek Ponorogo di jalur 5 (kalau ndak salah). Tanpa menunggu, saya langsung menghampiri bus paling depan di jalur 5 nama lambung Rukun Jaya trayek Tulungagung - Trenggalek - Ponorogo. Kedatangan saya di sambut calo terminal yang langsung menanyakan tujuan saya. Tak lupa saya menanyakan apakah bus tersebut langsung ponorogo, Jawaban calo menambah keyakinan saya yang berasumsi tidak di repotkan lagi untuk pindah bus ketika sampai di kota Trenggalek.

Setelah duduk di jok, sambil menunggu bus berangkat, saya menyapukan mata ke sekeliling melalui jendela bus. Kondisi terminal Gayatri Tulungagung cukup rapi, bangunannya pun terlihat bersih dengan menara control berdiri di ujung terminal. Terlihat beberapa petugas duduk di sana mengawasi kondisi terminal. pada beberapa dinding tertempel rambu digital menerangkan situasi dan kondisi terminal Gayatri. Di ruang tunggu pun terlihat bersih dengan lantai keramik. Kios-kios tertata rapi namun namanya terminal tetaplah terminal yang tak bisa lepas dari calo. Untuk keamanan, sempat saya lihat beberapa petugas security berjaga, entah security terminal atau hanya di tugaskan pada saat lebaran, saya tidak tau.

15 menit saya duduk di jok bus ukuran 3/4 dan sopir pun mulai menjalankan kendaraannya keluar
 terminal menyusuri jalan raya Tulungagung - Trenggalek. Cuaca semakin terik. Sepanjang perjalanan saya melihat pemandangan area persawahan menghampar di kanan kiri jalan raya Tulungagung - Durenan. Di tengah keasyikan saya menikmati pemandangan kondektur menyapa saya menanyakan tujuan. Dia lalu berkata ongkos yang harus saya bayar untuk sampai di kota Ponorogo. Rp.55.000; saya ulurkan dan saya pun kembali asyik menikmati perjalanan yang mulai berliku dan menanjak. Untuk beberapa menit saya hanyut menerawang tentang istri dan anak-anak yang saya tinggalkan. Sedih! mereka telah menunggu berbulan-bulan hanya untuk 4 hari bersama. Resiko seorang karyawan swasta seperti saya. 

Saya menarik nafas panjang ketika tanpa sadar membaca rambu bertuliskan arah terminal Trenggalek. Tak lama kemudian bus Rukun Jaya yang saya tumpangi memasuki gerbang terminal Surodakan Trenggalek. Sedikit bingung sebab seluruh penumpang dalam bus tersebut turun. Tinggal saya sendiri sebelum kemudian kondektur meminta saya untuk pindah bus paling depan untuk meneruskan tujuan ke kota Ponorogo. Alasannya agar saya lebih cepat. Apapun itu, saya sempat nerveus dan berpikir macam-macam. Meskipun dari rumah sudah menyiapkan diri untuk hal terburuk (tertipu misalnya) tetap saja keadaan itu membuat saya nerveus dan siap menghadapi segala keadaan.

Setelah saya memasuki bus tujuan ponorogo dan duduk di jok kanan nomor 2 dari belakang, saya membuka ponsel untuk melihat jam. Pukul 10:55 artinya lama perjalanan dari terminal Tulungagung sekitar 1 jam. Memang saya rasa bus Rukun Jaya yang saya tumpangi cukup kencang menyusuri jalan raya Tulungagung - Trenggalek. Lebih dari 20 menit saya duduk di bus kecil *lebih kecil dari Rukun Jaya* yang masih parkir menunggu penumpang. Saking kecilnya, terpaksa saya harus menekuk lutut agar bisa duduk. Di atas lutut, berdiri carrier seberat lebih dari 5 kg. Haddeuhhh... apa boleh buat.

Saya tidak sempat melihat nama lambung bus kecil yang saya tumpangi. "Lah masa bodo lah yang penting cepat sampai tujuan" pikir saya. Selama 20 menit duduk di bus parkir, kembali mata saya menyapu ke sekeliling melalui jendela bus mini yang *menurut saya* sangat tidak terawat. Kondisi terminal Trenggalek yang menarik perhatian saya. Secara umum, menurut saya kondisi terminal Trenggalek cukup lumayan. Hanya saja kondisi aspal dalam terminal sepertinya kurang terawat, banyak lubang di sana sini. Di sisi kerapihan, sebagai pengguna saya menilai masih jauh bila di bandingkan dengan terminal Gayatri Tulungagung. Memang cukup luas dan ramai namun terkesan ala kadarnya saja. Entah lah. itu penilaian saya tentang Terminal Surodakan Trenggalek.

Di bagian depan sebelah kiri dari sopir, terlihat tumpukan pasir di lantai bus. Entah sengaja atau memang pasir tersebut cipratan dari ban depan kiri. Sebab lantai bus sebelah kiri terlihat keropos hingga saya dapat melihat ban depan bus dari tempat duduk saya. Menyadari hal itu, reflek mata saya menyapu ke seluruh lantai bus. Lagi-lagi yang saya dapati pasir dan debu menghampar di sana sini. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, apakah kendaraan ini adalah bus cadangan yang di operasikan hanya pada musim lebaran atau memang trayek tiap hari?. Jika memang bus cadangan, wajar kiranya jika kondisinya memprihatinkan, tetapi jika bus tersebut trayek tiap hari tidak adakah perhatian dari PO armada tersebut? atau seharusnya ada pihak-pihak yang berwenang mengurusi kondisi armada antar kota dalam propinsi tersebut? Lalu siapa yang berwenang? Entahlah. Saya tidak tau..

Saking asyiknya mengira-ngira, tak sadar bahwa bus micro yang saya tumpangi telah melesat jauh meninggalkan terminal Surodakan Trenggalek. Jangan berpikir 'melesat'-nya bus ini seperti Harapan Jaya trayek Tulungagung - Surabaya atau Luragung trayek Jakarta - Cirebon, perkiraan saya bus micro ini lari dengan kecepatan antara 20 - 30 km/jam. Selain armada ini terbilang memprihatinkan kondisi jalan antara Trenggalek - Ponorogo berkelok - kelok penuh tanjakan dan turunan. Saat kondektur merangkap kenek meminta ongkos jalan, saya menunjukkan karcis bus Rukun Jaya yang saya tumpangi sebelumnya. Sempat berpikir karcis tersebut tidak berlaku, dan itu artinya saya telah di tipu kondektur bus sebelumnya. Namun kekhawatiran saya tidak terbukti ketika kondektur tersebut mengembalikan karcis tanpa berkata apapun. Lega rasanya tidak di mintai ongkos lagi.

Kondisi alam pegunungan lintas selatan mengajak saya untuk melupakan kondisi terminal Treggalek serta ketidak nyamanan armada bus micro yang saya tumpangi. Kelokan, tanjakan, tebing serta area persawahan terasering menghampar hijau cukup menyejukkan rasa. Saya dapat melihat pegunungan pantai selatan di ujung sawah di sela tebing menghampar hingga lembah. Sekali lagi sayang sya tidak mampu mengabadikan suasana itu. Posisi duduk yang cukup sempit membuat saya kesulitan untuk mengambil ponsel butut di tas pocket yang tertimpa carrier. Selain itu, saya juga tidak menyiapkan kamera sebab memang tidak ada rencana untuk jeprat jepret. Tujuannya memang hanya ingin mudik untuk keluarga tercinta.

Pukul 12:50 saya sampai di terminal Ponorogo. Saat bus micro trayek Trenggalek - Ponorogo memasuki terminal Seloaji Babadan terlihat banyak orang menghampiri sembari berteriak menanyakan tujuan kepada penumpang yang bersiap turun. Satu persatu penumpang turun termasuk saya. Belum juga saya selesai merapikan carrier di punggung, seorang berbadan agak gemuk tak lebih tinggi dari saya memegang lengan atas tangan kiri dengan kuat. Tampangnya cukup sangar bagi orang awam.

Saya coba lepaskan pegangan itu tapi justru di pererat dengan pertanyaan kemana tujuan saya setengah memaksa. Dengan senyum saya tidak menyebutkan tujuan, saya hanya bilang "enggak pak".Berkali-kali saya ucapkan itu agar dia melepaskan pegangannya. Karena posisi kami saat itu masih di jalur keluar masuk bus, saya pun melangkah ke pinggir ke arah trotoar terminal. Namun lagi-lagi pria sangar itu tetap memegang lengan kiri saya dengan kuat sambil terus bertanya.

Akhirnya saya mencari alasan untuk ke toilet agar dia lepaskan. Perkiraan saya ternyata meleset, memang tangan saya di lepaskan tetapi orang sangar ini tetap mengikuti saya ke toilet. Terserahlah, yang penting saya sudah berusaha menolak dengan sopan, batin saya. Di dalam toilet umum sebuah toko di seberang terminal Ponorogo, di seberang jalan pintu masuk terminal tepatnya. Saya memutar otak apa yang harus saya lakukan jika orang itu memaksa lagi. Saya harus menguasai keadaan sampai langkah apa yang harus saya tempuh jika sampai terjadi hal yang tidak saya inginkan *ribut atau adu mulut misalnya*

Setelah yakin dan percaya diri, saya keluar toilet dan membayar uang pipis ke petugas jaga, sebelum saya melangkah untuk kembali masuk terminal, pria sangar tadi langsung menghampiri dan kembali memegang tangan saya dengan erat. Rupanya selama di toilet orang ini masih menunggu saya di luar. Sial! batin saya. Tanpa mempedulikan pegangan orang ini, saya melangkah menyeberang jalan menuju pintu masuk terminal Seloaji Ponorogo. Di pintu masuk, langkah saya terhenti karena pria sangar ini menarik tangan saya. Dia kembali menanyakan tujuan saya. Setelah menyebutkan tujuan saya adalah Ngadirojo pria ini menawarkan tumpangan ojek menuju Ngadirojo. Barulah saya paham bahwa orang ini adalah tukang ojek terminal. Wueleh-welehhhhhhh..

Tidak sampai di situ, saya masih di tawari ojek dengan hardikan yang menyatakan saya bukan orang situ dan dia lah yang tau medan. Masih saya tolak dengan halus bahwa saya ingin naik bus saja. Orang ini pun mulai memaksa "Sampeyan bukan orang sini di kasih tau yang punya wilayah ngeyel" sembari mempererat pegangannya di tangan kiri saya. Mendengar itu terus terang emosi saya mulai naik "Pak! tanganku kok cekel koyo' ngene maksud'e opo iki? maksudmu opo? kan wis tak jelasne aku pengen naik bus. Maksudmu opo? kok kiro aku seh sepisan iki ta liwat kene. Bolak-balek pak aku nang kene! maksudmu opo?!" (Pak, tanganku kamu pegang kayak gini maksudnya apa? maksudmu apa? kan sudah saya jelasin kalau saya pengen naik bus. Maksudmu apa? kamu kira saya baru sekali ini lewat sini? Sudah sering pak saya di sini. Red) Dengan mata melotot menatap mata orang ini. Setelah saya bersikap seperti itu, pegangannya pun di lepaskan dari tangan saya. Orang ini pun sedikit melunak.

Rupanya teriakan saya tadi mengundang perhatian. Seorang bertubuh kecil seperti saya datang mengampiri dan menanyakan ada apa. Sebelum di dahului tukang ojek, saya lebih dulu nyerocos menerangkan maksud tujuan saya. Hal yang sama saya terima, pria kerempeng ini langsung menarik saya menuju bus yang saya tak tau arah tujuannya. Tanpa pikir panjang tarikannya saya tepis begitu saja. Tanpa berkata saya menatap tajam (melotot.Red) ke arah pria kerempeng ini. Entah apa yang dia katakan yang pasti saya sudah siap jika di antara mereka melayangkan pukulan. Kepalang tanggung di kasih sopan tak mengerti, batin saya. Apapun yang terjadi saya siap.

Entah kenapa pria kerempeng itu berlalu pergi meninggalkan saya yang berdiri marah. Eh kembali si tukang ojek menghampiri saya, kali ini wajahnya tidak segalak tadi. Dia menawarkan, lebih tepatnya menyuruh saya untuk naik bus tujuan Ngadirojo. Memang benar ada bus dengan tulisan Ponorogo - Ngadirojo di kaca depan. Selagi saya masih memperhatikan Bus micro tersebut, si tukang ojek sudah merangkul pundak saya untuk menuju bus yang berada di luar terminal.

Sekali lagi dengan nada keras saya bilang "Pak! jelek-jelek begini saya bisa baca pak! itu bus parkir! Maksudmu saya suruh naik bus parkir yang di tinggal tidur sopirnya gitu?!" kesekian kalinya dengan mata melotot. Konyol banget orang - orang ini! Akhirnya tukang ojek itu menyerah dan meninggalkan saya. Benar-benar nggak nyaman! Saya pun kembali masuk ke dalam terminal Seloaji dan berdiri di trotoar berbaur dengan sesama penumpang yang sedang menunggu bus tujuan masing-masing.

Untuk meredakan marah dan emosi, saya menyulut sebatang rokok. Sesaat kemudian seorang bapak yang berdiri di samping saya menyapa dengan suara agak lirih. Bapak itu menanyakan kenapa tadi sampai saling otot-ototan. Saya pun menjelaskan duduk persoalannya dan bapak itu pun mengangguk mengerti. Dari bapak itu pula saya tau bus mana yang harus saya tumpangi untuk mengantarkan saya ke Ngadirojo - Wonogiri. Sesaat kemudian saya di hampiri pria pendek setengah baya dengan selampe di kalungkan di lehernya. Awak bus! iya benar. Dia salah satu awak dari sekian banyak bus yang ada di terminal Seloaji Ponorogo. Seperti yang lain, pria ini menanyakan tujuan saya namun dengan nada santai sekdar ingin tau. Saya menyebut kota Ngadirojo, saat itu pula pria ini balik bertanya "Ngadirojo mana mas? Ngadi rojo ada 2, Ngadirojo Wonogiri atau Ngadirojo blablabla.. (saya lupa)" Dan dia pun menunjuk bus yang sama dengan yang di tunjuk bapak sebelah saya tadi. Tanpa pikir panjang saya segera naik dan duduk du bangku nomor 2 kiri dengan posisi menyamping.

(Di lanjut nanti bro.. tangan sudah kriting ni)

0 comments:

Post a Comment

Kalau komentar belum di jawab, artinya saya jarang online atau memang ilmu saya belum sampai ke situ bro,